Sabtu, 11 Agustus 2012

Vonis Mati bagi Koruptor Layak Diterapkan

JAKARTA, PARLEMENTARIA

Hukuman mati bagi para koruptor sesungguhnya sudah dapat dilakukan dalam UU yang berlaku saat ini. Namun hal itu tidak pernah digunakan oleh hakim dalam memvonis koruptor selama ini.*

"Artinya, kalau Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) saat ini sedang mengkaji kemungkinan dibelakukannya hukuman mati bagi koruptor, sebetulnya dalam UU sudah ada mengenai ketentuan itu. Jadi tidak perlu harus dikaji lagi, karena di UU sudah ada," ujar mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga kepada Suara Karya, Kamis. Menurut Benjamin, ketidakinginan hakim menerapkan hukuman mati terhadap koruptor bisa jadi karena kepentingan politik atau hal lainnya. Sebaliknya, hakim dalam memutus perkara justru cenderung jauh dari rasa keadilan masyarakat.*

"Padahal, saya sangat setuju kalau koruptor itu dihukum mati. Sebab, hukuman mati merupakan upaya pemberantasan korupsi yang memberikan efek jera. Saya sendiri saat menjadi hakim pernah memvonis mati koruptor, kalau tidak salah tahun 1986," ujar Benjamin.* Terkait dengan itu, ia berharap hakim dapat mempertimbangkan vonis mati terhadap koruptor jika memang pantas.*

Senada, peneliti hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilam Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan, penerapan hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga tidak perlu lagi ada payung hukum untuk mengatur hal tersebut.* Namun demikian, untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor tidak serta merta diterapkan bilamana negara tidak dalam bencana atau krisis ekonomi.*

"Pemberlakuan hukuman mati dapat diberlakukan manakala negara dalam keadaan darurat bencana atau krisis ekonomi. Nah persoalannya, kondisi seperti itu kan tidak bisa dipaksakan. Makanya sifatnya hanya tertentu saja," ujarnya menambahkan.*

Wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor mencuat setelah ada pernyataan dari anggota Wantimpres bidang hukum dan HAM, Albert Hasibuan. Ia menilai, untuk memberikan efek jera, perlu ada klausul hukuman mati bagi koruptor. Bahkan pihaknya sudah membentuk Tim Kajian Strategi Percepatan Pemberantasan Korupsi (TKSPPK). Dalam tim itu, menurut dia, masalah hukuman mati sempat dibicarakan, termasuk hukuman seumur hidup.*

Albert megakui, hukuman yang dikenakan pada koruptor selama ini masih jauh dari rasa keadilan. Ia mencontohkan hukuman penjara 3 tahun bagi pelaku yang sudah meraup uang negara hingga Rp 30 miliar. Hal ini berbanding terbalik dengan pelaku kriminal lainnya yang dapat hukuman lebih berat.*

Ia mengingatkan ucapan Bung Hatta yang menyebut korupsi menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Korupsi pun dianggap sudah berkembang dan mengakar tanpa ada efek jera sedikitpun.*

 Mantan Anggota Komnas HAM ini mengaku prihatin dengan indeks korupsi Indonesia dimata dunia internasional. Ia menyebut data dari Transparency International tahun 2011 yang menyebut Indeks Korupsi Indonesia berada diurutan 100, sama dengan Djibouti sebuah negara miskin di Afrika.*

Contoh lainnya, kata Albert, soal kembali tertangkapnya pegawai Ditjen Pajak oleh institusi penegak hukum. Hal itu dinilai sebagai akibat dari lemahnya hukuman yang dijatuhi oleh hakim yang tidak memberikan efek jera. Sebab itu, katanya, sudah tidak selayaknya hakim menyatakan adanya hal-hal yang meringankan dalam menjatuhkan vonis*

 Ada Kongkalikong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui adanya kongkalikong mengeruk anggaran negara yang melibatkan pejabat eksekutif maupun DPR. Yudhoyono mengaku mengetahui banyak informasi soal permainan anggaran sejak perencanaan hingga pelaksanaan. Tapi Presiden selama ini memilih tak berkomentar, agar tak menimbulkan kegaduhan politik.*

"Sekarang pun masih ada yang berani di antara parlemen mengajak eksekutif kongkalikong, ini sekian anggarannya, sekian persen tolong dikeluarkan. Masya Allah, naudzubillah, luar biasa. Saya tahu, jangan underestimate (meremehkan)," kata Yudhoyono saat membuka sidang kabinet paripurna kemarin.*

Presiden juga mengaku mengikuti segala kasus yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi dan pengadilan. Yudhoyono mengklaim memiliki informasi sahih. Tapi dia memilih mempercayakan kasus korupsi pada penegak hukum semacam KPK.*

Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu juga menyentil para menteri yang di kementeriannya terjadi korupsi semacam itu. Ia sempat bertanya kepada para menteri soal penyimpangan anggaran di lembaga mereka. Ia menilai, para menteri yang mengetahui penyimpangan itu tapi membiarkan sama saja ikut bersalah. Atas kondisi itu, Presiden mengaku prihatin.*

Tak jelas benar kepada menteri siapa Presiden menyindir. Hadir dalam rapat kabinet itu sejumlah menteri yang lembaganya pernah dan masih disorot dalam masalah korupsi. Misalnya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, yang diperiksa dalam kasus proyek Pekan Olahraga Nasional Riau; serta Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, yang kementeriannya disorot dalam kasus dugaan korupsi Wisma Atlet dan Stadion Hambalang.*

Andi Mallarangeng menilai pidato Presiden tak diarahkan kepadanya. "Saya rasa ditujukan kepada semua (anggota kabinet)," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat ini. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang bawahannya ditangkap KPK dalam kasus suap dana infrastruktur transmigrasi, juga menilai pidato itu bukan hanya untuknya.*

Ketua Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa ini mengklaim kementeriannya sudah menerapkan zona antikorupsi dalam setahun terakhir.*

Direktur Divisi Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, menilai pidato Yudhoyono justru menunjukkan ketidaktegasan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi Presiden mengaku mengetahui informasi penggangsiran anggaran negara. "Dia sudah tahu tetapi tidak mencegah," kata Oce.*

Oce juga menilai Yudhoyono tak tegas menindak bawahannya yang terlibat kasus korupsi. Seharusnya, Presiden langsung memanggil menteri yang di lembaganya terjadi korupsi. Misalnya, kata Oce, Yudhoyono bisa langsung memanggil Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. . (buskemal zaros).

Sumber : Suara Karya dan Tempo Online 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar